Selasa, 16 November 2010

Jejaring Sosial, Simbol, dan Realita Identitas

"Ketika Jakarta macet atau banjir, kalian akan menghujatnya. Tapi apa Jakarta pernah minta imbalan atas kesempatan dan kehidupan yang dia beri kepadamu???" Hmmm itu isi status fb Saye beberapa waktu lalu. Status itu, mewakili pembelaan Saye, waktu Ibukota Jakarta dipastikan lumpuh secara lalu lintas. Dari status tersebut ada jawaban yang sangat logis ; "Pernah, jkt memnta mrka teriak u persija/pergi,tapi mrka juga mengabaikannya" kata2 ajaib dari seorang saudara sePersija.Ok, cukup ye..."status2"nye (maklum fb). Sekarang kite bahas dari penafsiran saye terhadap jawaban status tersebut.. Yah, status lagi.. he8x. Kite bahas yang ntu aje. Klo soal banjir, ntar malah lebih buyar pembahasannye :)
PERSIJA dan JAKARTA..dua kata yang membuat kita terharu bangga, dan membuat kita rela membelanya ketika ada yang mencibir. Contoh terdekat adalah waktu hari Rabu (03112010) dimana saat itu PERSIJA maen di GBK. Sore itu, puluhan ribu Pecinta PERSIJA dateng ke GBK. Diwaktu yang bersamaan juga, jutaan ummat JAKARTA selesai beraktifitas. Nah, kebayang dah kisruhnye.. Bukan rahasia lagi, klo tiap PERSIJA maen di kandang ada aje yang ngeluh2 soal macet.

Padahal, tanpa PERSIJA maenpun JAKARTA udah macet di jam2 segitu.“Perhatian” dari kalangan luar supporter makin vocal. Di salah satu jejaring digital, sempet ada perdebatan sengit.. Saye inget lagi soal notes yang dibikin Anto Jakampus UI, yang dulu pernah bahas soal2 beginian. Trus Saye bandingin lagi sama masukan2 dari Gerry. Yang dapet buahnye begini :

Wajar, klo pada akhirnya kita membela diri. Saat para hedonis2 muda telat dateng ke “date’nye gara2 macet. Emang JAKARTA dibangun buat mereka doank?! Klo diibaratin nama jalan ni, mereka ibarat Jalan Sudirman – Thamrin. Dan kita ibarat gang2 kecil seperti Jalan Jaksa dan Bendungan Hilir. Beda kasta beda kelas. Tapi apa mereka berhak menjudge kita seenaknya?! Ga lah!! Biar kate beda jalan, tetep aje adanye di JAKARTA.

Di Jakarta ada Patung Selamat Datang. Tapi blum pernah dibangun Patung Selamat Tinggal. Penafsiran Saye si, Jakarta selalu membuka pintunya untuk semua orang yang berminat menghampirinya. Tanpa pernah bermaksud mengusirnya.

Ayo2, coba dah kite pikirin rame2 kita semua punya kewajiban menjaga JAKARTA biar lebih keren lagi. Setelah kita sama2 pulang dari GBK, jaga juga kenyamanan para pengguna jalan. Terlebih lagi buat para pekerja wanita yang terkesan takut klo liat rombongan oren – oren. Mungkin omongan2 ini sedikit mengulang dari banyaknya ilmu yang kita denger dari Bung Ferry.

Nah, intinye ni..yu’ bangun sama2 image positif soal nonton PERSIJA. Biar makin banyak lagi orang yang mau dateng ke GBK, atau bahkan tour tandang. Desain ulang lagi image2 yang udah terlanjur nempel. Klo kite adem2 aje, ntu media2 sotoy juga ga bakal aneh2 lagi ngeberitain soal The Jak dan PERSIJA’nya. Buktiin klo kite ga beda2in orang. Di teras stadion semua sama. Seperti Istiqlal yang bertetangga dengan Katedral.

Jika kita menjadi burung, tentu kicauan terindah yang akan kita dendangkan. Walau hanya 140 karakter.Terima kasih kawan, telah memberi prespektif berbeda dari sempitnya pandangan Saye selama ini..Saudara Se-PERSIJA

"Mereka boleh hedon, mereka boleh highclass, mereka boleh suka sama klub luar, tapi kita harus rangkul karena mereka Jakartan dan tinggal di jakarta, sama kyk bahasan yg td gang jaksa ma gang benhill.." Gerry D'lounge

Kamis, 11 November 2010

Darah dan Air Mata buat Sepak Bola Nasional

Melihat perkembangan sepak bola nasional Indonesia sekarang ini, intinya seperti melihat panggung teater dengan nuansa teatrikal budaya kedaerahan. Aktor beserta kepiawaiannya menjalankan peranan masing-masing dengan kebanggaan retorika demi kecintaan terhadap sepak bola.
Genderang perang selalu ditabuh. Kondisi ini tak ubahnya politisi yang selalu mempunyai kepentingan masing-masing terhadap kelompok, golongan, dan kepentingan pribadi sehingga asas keterbukaan, transparansi, dan profesionalisme dikorbankan.

Pengembangan pembinaan usia muda pun terabaikan. Dengan itu semua, landasan fondasi sepak bola modern belum terselenggarakan dengan baik di Indonesia.

Sepak bola Indonesia masih dalam pemikiran dan paradigma kepentingan jangka pendek. Budaya menang atau kalah sangat dipersoalkan. Etika untuk mencapai menang diabaikan sehingga kompetisi berjalan sesuai skenario yang telah ditentukan.

Semua itu dilakukan demi keuntungan materi dan publisitas tim dan pengurus. Alasan komersialisasi dan peranan sponsor serta aktifnya agen-agen pemain asing di Indonesia membuat bakat-bakat muda tidak terasah di kompetisi.

Sementara itu, banyak pemain asing main bersamaan di klub dalam posisi strategis sebagai penyerang, pemain tengah, dan bek tengah. Akibatnya, tim nasional kesulitan melakukan regenerasi pemain di posisi tersebut. Pemain usia muda pun tidak diberikan kesempatan bermain penuh di dalam kompetisi Liga Nasional. Mereka akhirnya tidak mendapatkan pengalaman bertanding secara optimal.

Satu dinamika positif yang tecermin di masyarakat kita adalah kecintaan mereka terhadap timnas Indonesia. Mereka sangat semangat dan mendukung penuh dengan segala harapan menjadikan timnas bersaing di pentas internasional.

Kompleksitas persoalan utama sepak bola nasional kita terletak pada keseriusan pengurus untuk menciptakan kompetisi pembinaan usia muda yang berkualitas. Tidak ketinggalan, hanya ada sedikit sumber daya profesional yang edukatif dan bisa menyelenggarakan kompetisi pembinaan usia muda secara transparan dan bebas kepentingan. Seharusnya, hal itu didukung penuh oleh pihak federasi demi pengembangan usia muda.

Tempo dahulu, pendidikan dan pelatihan (diklat) di kantong-kantong pemain di daerah menghasilkan atlet yang berkualitas. Keberhasilan tersebut didukung anggaran pendidikan formal oleh pemerintah dan kompetisi yang terselenggarakan dengan baik. Kompetisi yang didukung oleh infrastruktur yang baik dan pendidikan formal yang baik bisa berjalan paralel sehingga menghasilkan atlet-atlet unggulan di bidangnya dan cerdas secara pemikiran. Dengan demikian pula, Indonesia bisa bersaing di kompetisi internasional.

Diklat sekarang tidak mempunyai anggaran yang memadai sehingga sulit bagi siswa dan atlet untuk berkembang. Diklat dengan anggaran dan infrastruktur memadai yang seharusnya bisa dijadikan feeder buat timnas usia muda sudah tidak bisa lagi menjadi tolok ukur di level nasional. Kini, tidak ada rencana yang baik dalam pembinaan usia muda di dalam kompetisi yang serius dari PSSI. Kondisi inilah yang menciptakan kegagalan regenerasi pemain, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional.

Ditambah dengan kondisi bahwa anggaran pemerintah terbatas buat pendidikan dan olahraga, infrastruktur sepak bola di daerah-daerah pun terabaikan. Kalaupun ada, hal itu tidak dikelola dengan baik dan profesional. Prestasi sepak bola nasional pun berada di titik terendah sekarang ini.

Sekarang ini berita-berita sepak bola Tanah Air sangat diramaikan oleh konsep membangun kompetisi. Di situ, klub mendapatkan keuntungan dari pengelolaan kompetisi dan kemandirian dari anggaran pemerintah daerah atau APBD. Esensi pemikiran ini akan menjadi landasan yang bagus demi kemandirian operasional klub.
Dalam konsep pemikiran ini, harusnya pihak swasta dan masyarakat juga diikutsertakan dalam pembangunan fondasi sepak bola modern. Memang, kualitas kompetisi bisa saja meningkat dan mandiri tanpa adanya pembenahan infrastruktur yang memadai dan dalam kondisi bahwa dukungan komersialisasi swasta sangat rendah. Namun, pengembangan yang signifikan membutuhkan biaya untuk membangun infrastruktur, seperti stadion dan akademi sepak bola di klub. Hal tersebut dilakukan demi pengembangan usia muda dan pusat pelatihan klub yang modern dan sesuai standar internasional.

Agar mendapatkan dana pembangunan infrastruktur tersebut, akhirnya nanti dibutuhkan lagi dana dari pemerintah. Namun, peranan tersebut akhirnya akan menyulitkan sifat kompetisi itu sendiri mengingat sifat dana pemerintah sarat dengan segala kepentingan sehingga kemandirian klub dan kompetisi akan terganggu, baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang.

Demi kelangsungan fondasi pembangunan sepak bola modern di Indonesia, klub membutuhkan kemandirian dana yang cukup, pembangunan akademi di klub untuk kelangsungan pembinaan usia muda di klub, serta dukungan sektor ekonomi dan masyarakat di sekitar klub itu berasal. Dengan begitu, klub tersebut tumbuh dan menjadi besar dengan mendapatkan pemain yang berkualitas melalui pembinaan atau pembelian pemain. Standar pelatih yang digunakan pun akan naik mengingat pengembangan signifikan membutuhkan pelatih andal dan berpenghasilan cukup dalam mengelola sumber daya di klub yang berkualitas.

Pembangunan akademi klub pun bisa terealisasi sehingga bisa menghasilkan talenta-talenta pemain muda yang berkesinambungan, baik bagi klub, maupun klub tersebut ketika mengikuti kompetisi. Pemain hasil pembinaan di akademi klub tersebut pun bisa dijual ke klub lain untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi klub asalnya.

Demi kemandirian federasi sebagai regulator serta pembina pengelola kompetisi sepak bola dan tim nasional, pengelolaan federasi juga harus dipisahkan antara fungsi regulator atau pemangku kebijakan dan fungsi komersialisasi usaha. Dalam pengelolaan komersialisasi usaha diperlukan suatu badan yang independen untuk melakukan kegiatan pengumpulan sponsor dan pemasaran. Badan tersebut bertanggung jawab terhadap penerimaan sponsor dan penjualan sehingga bisa menjadi pemberi pemasukan bagi federasi untuk membina dan menjalankan fungsi regulator tanpa memerlukan keterlibatan pemerintah.

Untuk menjadikannya independen dan transparan, sedianya badan tersebut masuk pasar modal dan menjual kepemilikan sebagian besar saham ke pasar modal luar atau dalam negeri. Dana tersebut bisa dijadikan modal untuk menjalankan federasi ataupun membantu penyediaan dana buat pinjaman klub yang diperlukan sebagai modal dasar klub bilamana diperlukan. Prototipe bisnis ini bisa dijadikan contoh.

(Iman Arif, Deputi Bidang Teknik Badan Tim Nasional)

Senin, 08 November 2010

Sepakbola Indonesia Sedang Terpuruk

- Sepakbola Indonesia Sedang Terpuruk -

Siapa yang berani menyangkal kalimat di atas..?? Siapapun mereka yang menyangkal dengan mencoba memberikan berbagai macam alasan, menurut pendapat saya mereka hanyalah orang-orang yang tengah mencoba menghibur diri, dengan mencari-cari pembenaran atas keterpurukan tersebut…

Secara pribadi, saya tidak pernah menyangkal akan hal tersebut. Selama ini kita hanya mampu menjadi negara yang “Hampir“, iya hanya selalu menjadi yang hampir. Hampir mengalahkan Uni Soviet, hampir mengalahkan Manchester United, hampir lolos Olimpiade, hampir lolos Piala Dunia, hampir lolos putaran kedua Piala Asia, hampir juara Piala Tiger (Suzuki) dan masih banyak lagi hampir-hampir yang lain…

Apa yang dapat dibanggakan dari kata “Hampir” itu sendiri..?? Sejujurnya tidak ada bukan..?? Saya tidak ingin mengomentari hampir-hampir di masa lalu, karena saya memang belum terlahir dan hanya mendengar dari cerita kebanyakan orang, sehingga saya merasa kurang berhak berkomemntar mengenai hal tersebut…

Mungkin akan lebih pas jika saya mengambil contoh peristiwa hampir di masa-masa sekarang. Peristiwa “Hampir” yang dimana saya sendiri ikut terlibat di dalamnya, yaitu hampir lolos ke putaran kedua Piala Asia 2004 dan 2007…

Pada Piala Asia 2004 (China) dan 2007 (Jakarta), Indonesia hampir saja lolos ke putaran kedua. Kita kalah di partai terakhir, yang seharusnya hanya membutuhkan hasil seri saat melawan Bahrain (2004) dan Korea Selatan (2007). Banyak pihak menilai jika Indonesia tampil luar biasa, mungkin itu betul, akan tetapi apa hasil akhirnya, sama saja gagal bukan. Jadi tidak ada yang dapat dibanggakan dari kata hampir itu sendiri,“Gagal adalah gagal.. Titik..!!!”…

Bangsa kita selalu terbelenggu dengan cara berpikir yang instan, yaitu ingin mencapai sebuah kesuksesan dengan cara instan. Selama ini kita selalu berusaha mengirim sebuah tim belajar/berlatih ke luar negeri selama 2 sampai 4 tahun, agar kelak tim tersebut mampu menjadi sebuah tim nasional yang kuat…

Hal tersebut memang tidak salah, akan tetapi alangkah lebih bijaksananya jika kita menggunakan uang jutaan dollar tersebut, untuk membangun sebuah pemusatan latihan bertaraf international di dalam negeri. Sehingga tempat tersebut dapat digunakan menjadi kawah candradimuka, guna mendidik talenta-talenta muda kita secara bertahap setiap tahunnya…

Sehingga setidaknya kita sudah mempunyai sebuah akademi sepakbola dengan sarana dan prasarana yang memadai, hal tersebut tentu dapat digunakan sampai kapanpun. Jika kita lihat saat ini, berapa banyak akademi di Indonesia yang memiliki standart fasilitas yang baik, sangat kurang menurut pandangan saya…

Saya lebih setuju jika kita membangun sebuah akademi yang lengkap dan modern serta mendatangkan seorang instruktur teknik berkualitas dari luar negeri. Instruktur tersebut bertugas membuat program latihan yang akan dilaksanakan oleh staf-staf pelatih lokal yang memimpin pada setiap kelompok umurnya. Sehingga pembinaan berjenjang, berkesinambungan, terprogram serta selaras itu akan terwujud (karena semua program berasal dari satu direktur teknik)…

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para pemain nasional di atas angkatan saya, para legenda sepakbola Indonesia dan para pahlawan sepakbola tanah air. Sejujurnya saya sudah muak dan mulai bosan dengan cerita yang bertajuk “Zaman Om Dulu”. Cerita di mana selalu bertopik perbandingan antara zaman dahulu dengan zaman sekarang…

Setiap zaman akan selalu berbeda. Berbeda pandangan, berbeda tanggapan, berbeda tantangan, berbeda apresiasi serta berbeda prestasi. Secara pribadi saya tidak pernah menafikan kehebatan individu para legenda persepakbolaan Indonesia tersebut. Akan tetapi secara prestasi tim nasional, sejujurnya tidak jauh berbeda dengan zaman sekarang, yaitu sama-sama Nol Besar…

“Jika Tim Nasional Indonesia pada zaman dahulu sangat hebat, mengapa kita baru bisa lolos Piala Asia pada tahun 1996″ padahal ajang ini sendiri sudah digelar sejak tahun 1956 di Hongkong. Yang membedakan zaman sekarang dengan zaman dahulu adalah alat pembanding. Yang saya maksud alat pembanding di sini berkaitan erat dengan teknologi pada zaman dahulu dan zaman sekarang…

Zaman dahulu teknologi pertelevisian di negara kita masih sangat terbatas, semua stadion di pelosok negeri selalu dipadati oleh para penikmat bola yang fanatik, karena hanya itu satu-satunya hiburan mereka. Stasiun TV di negara kita saat itu, tidak menyiarkan liga Spanyol, Itali, Inggris, Jerman dll. Oleh karena itu mereka tidak mempunyai pembanding dalam menilai kehebatan sebuah individu maupun sebuah tim…

Sedang saat ini pembandingnya sangat jelas, hampir setiap akhir pekan masyarakat kita disuguhi pertandingan liga-liga di Eropa, belum lagi Liga Champions Eropa, Piala Eropa, Piala Dunia dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuat fanatisme masyarakat sedikit demi sedikit mulai terkikis, banyak penikmat bola yang lebih memilih menyaksikan petandingan liga-liga Eropa di rumah sambil ngeteh atau ngopi, daripada menyaksikan pertandingan Liga Indonesia secara langsung ke stadion…

Membandingkan liga-liga di Eropa dengan liga Indonesia jelas bagai bumi dan langit, baik dalam segala hal. Pemain-pemain lokal zaman sekarang jelas akan terlihat sangat kecil jika dibandingkan dengan individu-individu level dunia seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Didier Drogba, David Beckham dll…

Sedangkan para legenda sepakbola kita zaman dahulu dikenal dan disanjung-sanjung bagai dewa pada masanya. Disamping karena memang mereka adalah individu-individu yang hebat, disisi lain masyarakat tidak punya bahan pembanding, yang mereka lihat dan mereka baca di media ya hanya pemain-pemain itu saja…

Zaman sekarang banyak masyarakat kita yang lebih mengenal para pemain dan kesebelasan di Eropa dari pada pemain dan klub lokal kita sendiri. Siapa yang tidak menyukai permainan indah dan talenta luar biasa para pemain dunia tersebut. Banyak diantaranya yang menyukainya karena skill permainannya, negara asal, klub asal atau malah ketampanannya. Bahkan fans club dari klub-klub ternama di Eropa tersebut banyak bertebaran di Indonesia…

Inti dari apa yang ingin saya sampaikan di sini sebenarnya adalah. Sudah saatnya mari kita kesampingkan ego, arogansi, gengsi serta ke sok hebatan kita masing-masing. Setiap generasi mempunyai sisi terang dan sisi gelapnya sendiri dan setiap zaman pasti juga mempunyai kebanggan masing-masing…

Yang kita buntuhkan sekarang ini bukanlah siapa yang lebih jago, siapa yang lebih berprestasi atau siapa yang lebih hebat. Mari kita tanggalkan itu semua, mari kita menelanjangi diri kita dan mengakui bahwa sepakbola Indonesia ini tidak mempunyai prestasi yang dapat dibanggakan, “Tidak dahulu dan tidak juga zaman sekarang”…

Sepakbola kita ini sudah sedemikian terpuruknya, sehingga dibutuhkan pembenahan sedini mungkin pada setiap aspeknya. Para legenda tersebut jelas dibutuhkan saran dan masukannya untuk generasi yang lebih muda, mengingat beliau-beliau sudah banyak mengenyam asam garam dunia persepakbolaan tanah air…

Sudah bukan saatnya lagi untuk mencari kambing hitam, kambing coklat, kambing putih maupun kambing belang lagi. Sekarang saatnya untuk kita duduk bersama dan bertukar pikiran untuk mencari solusi dari keterpurukan persepakbolaan tanah air ini yang sudah sedemikian akut ini…

Jika kita selalu menengok ke masa lalu, maka sejatinya prestasi terbesar negara kita adalah saat berpartisipasi di Piala Dunia ketiga di Prancis pada tahun 1938, saat masih bernama Hindia belanda. Tetapi apa bangganya dengan fakta tersebut diatas..?? Tidak ada…!!!

Maka sekarang tidak ada lagi waktu untuk bernostalgia dan bercerita dengan topik “Zaman Om Dulu”. Sekarang sudah tiba saatnya untuk melakukan gerakan secara nyata, untuk merubah wajah persepakbolaan negara kita tercinta ini menjadi lebih baik dan lebih bermartabat tentunya….

Rasanya, kita sudah cukup memberi toleransi terhadap berbagai kegagalan dan mengatakan “Semoga di lain waktu kita berhasil”. Jangan ada lagi cerita hampir ini dan hampir itu di masa-masa yang akan datang. Mari kita bekerja keras dan saling bahu membahu, agar suatu saat nanti generasi di bawah kita mampu berkata “Iya kami hadir di Piala Asia, iya kami lolos Olimpiade atau bahkan iya kami INDONESIA berpartisipasi di Piala Dunia”..

“Bravo Sepakbola Indonesia”

Selesai….

Ditulis Oleh: Bepe

Jumat, 05 November 2010

Supporter Bola Indonesia, Mana Sumpahmu ?

Di ujung bulan kesepuluh ini setiap tahun ada sebuah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa indonesia, hari ketika sekumpulan pemuda mendeklarasikan sebuah sumpah yang mengakui jika mereka, berbangsa, berbahasa dan bertanah air Indonesia.

Sumpah Pemuda adalah nama hari istimewa tersebut, yang menjadi bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Dari situ seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia.

Membuka kembali lembar sejarah tentang suporter indonesia, ada sebuah momen yang hampir mirip. Di sebuah kantor sebuah media cetak, berkumpul beberapa kelompok suporter yang kemudian berhasil mencetuskan ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia) adalah Sigit Nugroho (BOLA) Mayor Haristanto, Panji Kartiko, Ryan Ardhianto (Pasoepati), Rudi Permadi (Aremania), Haryanto (Bonekmania), Gugun Gondrong dan Ferry Indrasyarief (Jakmania), Herru Joko, Agus Rahmat, Eri Herdian, Leo Nandang Rukaran (Viking), Robert Manurung (Kampakmania), dan beberapa perwakilan dari kelompok suporter lain, seperti Macz Man dan PKT bontang.

Selain tercetus ASSI, kumpul-kumpul itu menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional. Namun sayang, ASSI haya seumur jagung dan tidak lagi terdengar kabarnya dalam setahun ke depannya.

Tahun 2000 adalah tahun suporter mendewakan sebuah hal yaitu “kreativitas” tak lain dan tak bukan adalah Aremania yang mempelopori gerakan suporter kreatif tersebut. Setiap wilayah yang mempunyai tim sepakbola berlomba-lomba, masyarakatnya berlomba-lomba menjadi suporter yang kreatif, mendukung timnya bukan hanya lewat tepuk tangan tapi juga lewat koreografi dan nyanyian. Sebutlah Jakmania, Viking, Pasoepati, Asykar The King, Macz Man, adalah beberapa contoh suporter kreatif pada masa itu.

Kemudian, sebuah produsen rokok yang menjadi sponsor Coppa Indonesia waktu itu menggelar dua kali Jambore Suporter di tahun 2006 di Cisarua dan 2007 (Sabur, Bali). Di ajang ini bertemu sekitar 50-an kelompok suporter se-Indonesia. Bukan hanya itu, di sana berkumpul pula, wasit, Badan Liga Indonesia dan juga perwakilan PSSI. Mereka berkumpul untuk berdiskusi tentang sepakbola Indonesia dan bagaimana memajukannya. Sebuah kesepakatan muncul di jambore 2007, yaitu pembentukan Neo- ASSI. Namun sampai sekarang ide dari Tommy Hermarto tersebut batal terealisasi.

Momentum Sumpah Pemuda seharusnya bisa dimaknai positif oleh teman-teman suporter. Mengesampingkan ego pribadi dan fanatisme sempit kita untuk bergandengan tangan demi sepakbola Indonesia. Atau, mengutip Bambang Haryanto — seorang penggagas Hari Suporter Nasional kala memperingati sewindu hari suporter tahun 2008 — kita ini memang suporter myophia: suporter yang rabun dekat, suporter yang tidak melihat menggunakan seribu cara pandang. Katakanlah itu gugatan kami, kepada diri kami sendiri. Karena kami selama ini menderita myopia, cadok, rabun dekat. Kita hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya fanatisme terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa.

Lalu, dengan kecadokan semacam itu kita merasa cukup, merasa sehat, merasa dunia sepakbola kita sudah beres-beres saja. Kita tidak menyadari terancam hanya menjadi useful idiot, orang-orang yang bagai kerbau dicocok hidung, karena tidak berani memiliki pikiran atau pendirian yang mandiri. Konflik-konflik antarsuporter itu mungkin sengaja “dipelihara”, seperti halnya pelbagai konflik di tanah air, sehingga dapat memberikan keuntungan kepada sekelompok aktor intelektual tertentu.

“Ketika mata di balas mata, maka dunia akan menjadi buta”. Sebuah ungkapan yang menarik dari Mahatma Gandhi tepat untuk mencerminkan keberadaan suporter sepakbola di Indonesia. Sebuah kata “dendam” menjadi sebuah pelegalan untuk melakukan kerusuhan.

Seiring berkembangnya waktu, proses pendewasaan suporter semakin mudah dikampanyekan, terutama lewat media internet dan social media semacam Facebook (FB) dan twitter. Sigit ‘Ompong’, dirijen Pasoepati berkali-kali menulis di status FB-nya. Kalau anarkisme itu dimulai dari lagu yang menghujat, maka sejak beberapa waktu lalu Sigit Ompong sudah tidak mau mengajak untuk bernyanyi rasis. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jakmania. Di website mereka sempat terpampang sebuah gambar yang bertuliskan, “kita punya banyak lagu bagus, kenapa memilih lagu rasis”. Pendewasaan seperti itu sebenarnya yang dibutuhkan para pemimpin kelompok suporter.

Seandainya seluruh elemen suporter bersatu, membuang ego mereka masing masing, menggulingkan Nurdin Halid semestinya bukan perkara yang mudah. Namun ketika kita bersikap secara eksklusif dengan berdemo hanya dengan kelompok kita sendiri, maka tuduhan suporter bayaran dari sang raja PSSI tersebut meluncur dengan enteng.

Masih terngiang ikrar kala jambore suporter 2007 di Bali waktu itu: “Kami Suporter Sepakbola Indonesia, dengan ini berikrar dan bersungguh-sungguh menjaga serta menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian dalam ikatan persaudaraan antarsuporter demi kemajuan serta kejayaan Sepakbola Indonesia.”

Berawal Dari Diri Kita Sendiri

Sepakbola memang kesukaan ane dari kecil sampe sekarang. Otomatis ane seneng banget sama yang namanya nonton pertandingan sepak bola (baik dalam / luar negeri). Banyak tim yang ane demenin ketika kecil, diantaranya Intermilan, Ajax, MU, kalo lokal ane masih ga tau tuh klub-klub yang bagus yang mana. Sampai suatu ketika ane diajak nonton sepak bola di stadion Lebak Bulus sama saudara, bener-bener ga tau apa dan seperti apa tim yang mau main saat itu. Ya, yang ane inget cuma satu kata “Persija”. Saat itu ane bertanya-tanya seperti apa itu Persija. Setelah di stadion ada perasaan ngeri/takut, karena supporter banyak banget dan sudah dewasa semua (saat itu ane masih duduk di kelas 1 SMP) walaupun tidak sedikit juga yang seusia ane. Tapi setelah kick-off dimulai, atraksi pun dimulai. Wah benar-benar beda dengan yang ane sangka. Suasana jadi begitu bergemuruh, penuh semangat, pokoknya senang sekali waktu itu. Dan yang lebih ane tidak sangka lagi, ternyata orang-orang yang ada didalam stadion (supporter) sangat ramah, sangat bernuansa seperti kita ini adalah satu keluarga. Dari situ ane kenal yang namanya The Jakmania.

Dimanapun ane berada, baik di Jakarta atau diluar Jakarta ketika jika ada saling bertemu sesama Jakmania, secara otomatis kita pun menjadi dekat seperti bicara dengan keluarga sendiri. Semakin menjadi ane cinta sama yang namanya Persija, ketika Persija meraih gelar Juara di Tahun 2001 yang dipimpin oleh Kapten Jabrik (Nur Alim). Hampir setiap pertandingan kandang ane nonton langsung di stadion walaupun tidak ada Korwil Jakmania yang menaungi ane, sampai akhirnya ane buat Kartu Tanda Anggota (KTA) Jakmania dengan Korwil Buncit (itu juga karena ada keluarga yang di daerah sana). Setiap perjalanan berangkat ataupun pulang dari Stadion ane selalu nebeng dengan Korwil mane aje yang bisa mengantar ane berangkat/pulang. Begitu kentalnya rasa kekeluargaan sesama The Jakmania tanpa memandang dari manapun mereka berada dan tidak segan-segannya membantu sesama antar Jakmania. Begitu bangganya sebagai orang asli Jakarta memiliki Persija dan The Jakmania saat itu.

Ketika akhir sekolah di SMA, ane mulai kendor nonton Persija karena tuntutan lulus di SMA sangat sulit, jadi harus banyak konsentrasi ke pelajaran sekolah yang juga dilanjut dengan mulai masuk ke bangku kuliah. Tapi bukan karena itu saja ane jadi jarang nonton langsung ke stadion mendukung tim kesayangan Persija, melainkan karena melihat pertikaian, perseteruan, dan masalah lainnya yang ada di tubuh The Jakmania. Miris juga melihat itu semua terjadi didepan mata ane. Ane jadi punya pikiran ”apa The Jakmania akan hancur” ?? dan masih teringat dengan kata-kata dari Bung Ferry, Ketua Umum The Jakmania ketika masih bermarkas di Lebak Bulus waktu itu, “The Jakmania tidak akan hancur dengan apapun, kecuali oleh The Jakmania itu sendiri”. Yup, sangat tepat kalimat itu., sesekali ane nonton langsung ke stadiaon walaupun datang sendiri dan tanpa ada yang mengetahui demi nonton Persija, karena malea jika ada yang tau ane masih nonton langsung distadion. Sebab “Image” Masyarakat saat ini The Jak adalah Rusuh, Brutal, dan Semrawut.

Semakin jarang ane nonton distadion, semakin geregetan juga kenapa dilawan kalau memang cinta Persija. Dan suatu saat ane pernah berpikir kalo terus diam saja seperti ini malah hanya akan membuat gundah hati. Kenapa bukan mencari jalan keluar bagaimana mencari cara untuk mengatasinya sampai akhirnya bertemu dengan segelintir orang yang sudah memiliki pemikiran dewasa dan kedepan untuk membuat suatu komunitas yang nantinya kami bercita-cita menjadi panutan bagi teman-teman Jakmania lain maupun Supporter lainnya, untuk menciptakan kembali The Jakmania sama pada saat dulu kita memulai The Jakmania pada awalnya.dan menjadikan diri kita sendiri sebagai contoh bagi rekan lainnya. Maka terbentuklah komunitas itu dan mungkin saat ini sudah banyak anggotanya bahkan sampai sering masuk media dengan kreatifitasnya.
Kami hanya ingin “Image” masyarakat terhadap The Jakmania dan Persija kembali menjadi hal yang positif, sehingga akan banyak lagi yang berfikir “Oh The Jakmania, saya senang dengan mereka..”

Ayo Jak, mari dimulai dari diri kita sendiri sebagai contoh untuk kebaikan, sehingga nantinya tidak ada lagi keributan, perselisihan apalagi tawuran sesama The Jak.

STOP Tawuran, Anarki.
Tingkatkan Sportifitas, Kreatifitas. Buktikan kita adalah Supporter yang santun, sportif, kreatif, atraktif dan selalu bersemangat untuk mendukung Persija.
Mohon maaf kalo ane sok tau, tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi ane dan hanya ingin Persija dan The Jakmania lebih baik lagi.
Bravo Persija – The Jakmania.

Salam,
Bahtiar Riva’i (Vai) – JaKantor Community
Powered by Blogger