Melihat perkembangan sepak bola nasional Indonesia sekarang ini, intinya seperti melihat panggung teater dengan nuansa teatrikal budaya kedaerahan. Aktor beserta kepiawaiannya menjalankan peranan masing-masing dengan kebanggaan retorika demi kecintaan terhadap sepak bola.
Genderang perang selalu ditabuh. Kondisi ini tak ubahnya politisi yang selalu mempunyai kepentingan masing-masing terhadap kelompok, golongan, dan kepentingan pribadi sehingga asas keterbukaan, transparansi, dan profesionalisme dikorbankan.
Pengembangan pembinaan usia muda pun terabaikan. Dengan itu semua, landasan fondasi sepak bola modern belum terselenggarakan dengan baik di Indonesia.
Sepak bola Indonesia masih dalam pemikiran dan paradigma kepentingan jangka pendek. Budaya menang atau kalah sangat dipersoalkan. Etika untuk mencapai menang diabaikan sehingga kompetisi berjalan sesuai skenario yang telah ditentukan.
Semua itu dilakukan demi keuntungan materi dan publisitas tim dan pengurus. Alasan komersialisasi dan peranan sponsor serta aktifnya agen-agen pemain asing di Indonesia membuat bakat-bakat muda tidak terasah di kompetisi.
Sementara itu, banyak pemain asing main bersamaan di klub dalam posisi strategis sebagai penyerang, pemain tengah, dan bek tengah. Akibatnya, tim nasional kesulitan melakukan regenerasi pemain di posisi tersebut. Pemain usia muda pun tidak diberikan kesempatan bermain penuh di dalam kompetisi Liga Nasional. Mereka akhirnya tidak mendapatkan pengalaman bertanding secara optimal.
Satu dinamika positif yang tecermin di masyarakat kita adalah kecintaan mereka terhadap timnas Indonesia. Mereka sangat semangat dan mendukung penuh dengan segala harapan menjadikan timnas bersaing di pentas internasional.
Kompleksitas persoalan utama sepak bola nasional kita terletak pada keseriusan pengurus untuk menciptakan kompetisi pembinaan usia muda yang berkualitas. Tidak ketinggalan, hanya ada sedikit sumber daya profesional yang edukatif dan bisa menyelenggarakan kompetisi pembinaan usia muda secara transparan dan bebas kepentingan. Seharusnya, hal itu didukung penuh oleh pihak federasi demi pengembangan usia muda.
Tempo dahulu, pendidikan dan pelatihan (diklat) di kantong-kantong pemain di daerah menghasilkan atlet yang berkualitas. Keberhasilan tersebut didukung anggaran pendidikan formal oleh pemerintah dan kompetisi yang terselenggarakan dengan baik. Kompetisi yang didukung oleh infrastruktur yang baik dan pendidikan formal yang baik bisa berjalan paralel sehingga menghasilkan atlet-atlet unggulan di bidangnya dan cerdas secara pemikiran. Dengan demikian pula, Indonesia bisa bersaing di kompetisi internasional.
Diklat sekarang tidak mempunyai anggaran yang memadai sehingga sulit bagi siswa dan atlet untuk berkembang. Diklat dengan anggaran dan infrastruktur memadai yang seharusnya bisa dijadikan feeder buat timnas usia muda sudah tidak bisa lagi menjadi tolok ukur di level nasional. Kini, tidak ada rencana yang baik dalam pembinaan usia muda di dalam kompetisi yang serius dari PSSI. Kondisi inilah yang menciptakan kegagalan regenerasi pemain, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional.
Ditambah dengan kondisi bahwa anggaran pemerintah terbatas buat pendidikan dan olahraga, infrastruktur sepak bola di daerah-daerah pun terabaikan. Kalaupun ada, hal itu tidak dikelola dengan baik dan profesional. Prestasi sepak bola nasional pun berada di titik terendah sekarang ini.
Sekarang ini berita-berita sepak bola Tanah Air sangat diramaikan oleh konsep membangun kompetisi. Di situ, klub mendapatkan keuntungan dari pengelolaan kompetisi dan kemandirian dari anggaran pemerintah daerah atau APBD. Esensi pemikiran ini akan menjadi landasan yang bagus demi kemandirian operasional klub.
Dalam konsep pemikiran ini, harusnya pihak swasta dan masyarakat juga diikutsertakan dalam pembangunan fondasi sepak bola modern. Memang, kualitas kompetisi bisa saja meningkat dan mandiri tanpa adanya pembenahan infrastruktur yang memadai dan dalam kondisi bahwa dukungan komersialisasi swasta sangat rendah. Namun, pengembangan yang signifikan membutuhkan biaya untuk membangun infrastruktur, seperti stadion dan akademi sepak bola di klub. Hal tersebut dilakukan demi pengembangan usia muda dan pusat pelatihan klub yang modern dan sesuai standar internasional.
Agar mendapatkan dana pembangunan infrastruktur tersebut, akhirnya nanti dibutuhkan lagi dana dari pemerintah. Namun, peranan tersebut akhirnya akan menyulitkan sifat kompetisi itu sendiri mengingat sifat dana pemerintah sarat dengan segala kepentingan sehingga kemandirian klub dan kompetisi akan terganggu, baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang.
Demi kelangsungan fondasi pembangunan sepak bola modern di Indonesia, klub membutuhkan kemandirian dana yang cukup, pembangunan akademi di klub untuk kelangsungan pembinaan usia muda di klub, serta dukungan sektor ekonomi dan masyarakat di sekitar klub itu berasal. Dengan begitu, klub tersebut tumbuh dan menjadi besar dengan mendapatkan pemain yang berkualitas melalui pembinaan atau pembelian pemain. Standar pelatih yang digunakan pun akan naik mengingat pengembangan signifikan membutuhkan pelatih andal dan berpenghasilan cukup dalam mengelola sumber daya di klub yang berkualitas.
Pembangunan akademi klub pun bisa terealisasi sehingga bisa menghasilkan talenta-talenta pemain muda yang berkesinambungan, baik bagi klub, maupun klub tersebut ketika mengikuti kompetisi. Pemain hasil pembinaan di akademi klub tersebut pun bisa dijual ke klub lain untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi klub asalnya.
Demi kemandirian federasi sebagai regulator serta pembina pengelola kompetisi sepak bola dan tim nasional, pengelolaan federasi juga harus dipisahkan antara fungsi regulator atau pemangku kebijakan dan fungsi komersialisasi usaha. Dalam pengelolaan komersialisasi usaha diperlukan suatu badan yang independen untuk melakukan kegiatan pengumpulan sponsor dan pemasaran. Badan tersebut bertanggung jawab terhadap penerimaan sponsor dan penjualan sehingga bisa menjadi pemberi pemasukan bagi federasi untuk membina dan menjalankan fungsi regulator tanpa memerlukan keterlibatan pemerintah.
Untuk menjadikannya independen dan transparan, sedianya badan tersebut masuk pasar modal dan menjual kepemilikan sebagian besar saham ke pasar modal luar atau dalam negeri. Dana tersebut bisa dijadikan modal untuk menjalankan federasi ataupun membantu penyediaan dana buat pinjaman klub yang diperlukan sebagai modal dasar klub bilamana diperlukan. Prototipe bisnis ini bisa dijadikan contoh.
(Iman Arif, Deputi Bidang Teknik Badan Tim Nasional)
Kamis, 11 November 2010
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar