Kamis, 26 Januari 2012

3 Pilar Penyangga Ibukota

Persija – Jakarta – Jakmania. Tiga kata yang saling mengisi di otak saya. Terlepas dari gedung-gedung tinggi, jalan yang padat dengan kendaraan, dan problem kota-kota besar lainnya, namun kota ini membuat saya jatuh hati dengan itu semua. Sayangnya, budaya yang identik dan menjadi ciri khas kota ini kini terpinggirkan karena orang-orang yang menjaga budaya-budaya itu sendiri kini tergusur akibat ketamakan bos-bos berdasi yang hanya mementingkan apartemen dan mall-mall milik mereka saja.
Padahal justru budaya-budaya asli betawi-lah yang membesarkan kota ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita lestarikan budaya-budaya asli Jakarta. Begitu juga Persija, tim ibukota yang sudah berdiri 83 tahun itu kini mulai diusik ketenangannya oleh pihak-pihak perusak. Padahal, kita, bahkan orang-orang lain pun tahu Persija itu identik dengan Bambang Pamungkas yang juga notabene ikon sepakbola nasional.  Namun mereka menipu kita, seakan-akan kita bodoh dan mudah diperdaya olehnya dengan ‘menggandakan’ nama Persija.
Seharusnya ini merupakan batu loncatan bagi kita, untuk lebih menjaga keutuhan tim Persija. Tim yang sudah 10 kali juara dan patut mengenakan satu bintang di atas logonya. Lebih hebatnya pula Persija telah lahir sebelum Negara ini merdeka, dan sangat jaya raya di era 70-an. Beberapa wilayah di Jakarta pun menjadi saksi bisu berdirinya cikal bakal Persija yang dulu dikenal dengan nama VIJ atau Voetbalbond Indonesische Jacatra di daerah Petak Sin Kien, Mangga Besar tepatnya di Stadion UMS. Stadion itu pun kini masih digunakan tim-tim internal Persija untuk latihan. Kemudian lapangan Petojo yang sekarang mungkin sudah dijadikan perumahan, dan lapangan-lapangan lainnya.
Banyak orang yang berjasa dalam kemajuan sepakbola Jakarta pada kala itu. Seperti orang-orang peranakan  Cina di Jakarta yang menyukai sepakbola dan tak lupa MH. Thamrin yang mendirikan Stadion UMS dengan membeli sebidang tanah dari Belanda hanya untuk dijadikan kawasan bermain bola untuk kaum pribumi. Sungguh sangat patut diapresiasi  jasa-jasa mereka. Untuk itu kita sebagai penerus-penerus mereka wajib memelihara keberadaan sejarah tersebut. Karena Persija adalah identitas kota Jakarta yang mesti kita bela dan pertahankan.
Bila berbicara Persija, tak lengkap sepertinya bila tidak membicarakan The Jakmania juga. Kelompok suporter Persija ini berdiri sejak 14 Desember 1997 silam. Bermula dari 40 orang yang peduli akan sepakbola Jakarta, dan hingga kini mereka-mereka mengenakan gelar JM (1-40) di depan nama mereka. Mungkin aku orang yang masih baru di dunia Persija, tapi berkat cerita kawan-kawan senior, saya sedikit tahu sejarah The Jakmania walau hanya lewat lisan atau tulisan saja.
Dahulu bila Persija berlaga di Stadion Lebakbulus, tribun yang terisi hanyalah Tribun timur saja. Karena saat itu anggota The Jakmania hanya beberapa ratus orang saja. Namun setiap tahun anggotanya semakin bertambah. Bahkan mulai tahun 2007 bila Persija bermain home di Lebakbulus, stadion tidak kuat menampung puluhan ribu The Jak, yang akhirnya sekian ribu orang tertahan di luar stadion.
Ini  membuktikan, orang-orang yang suka Persija kini semakin bertambah setiap tahunnya. Mungkin juga karena Persija pernah menjadi Juara Ligina di tahun 2001. Beberapa kawan saya, pernah mengalami saat-saat itu. Ketika Persija menjadi Juara, dan The Jakmania sangat kegirangan menyambut kemenangan tersebut. Jalan-jalan protokol di Jakarta pun sudah seperti lautan Orang Oren. Bahkan saking gembiranya sekelompok orang menceburkan tubuh mereka ke dalam kolam di Bundaran HI.
Walau hanya lewat cerita, saya bisa membayangkan betapa gembiranya perasaan mereka. Namun hingga kini, bila Persija akan melakoni laga kandang,  di sudut-sudut ibukota pun akan terlihat, para The Jakmania yang akan berbondong-bondong berangkat ke stadion. Ini merupakan pemandangan yang sudah umum terlihat.
 Di samping itu The Jakmania bukan hanya orang-orang dari sekitaran Jakarta saja. Banyak anggota-anggota The Jakmania juga berasal dari wilayah “Jalur Gaza”, atau wilayah perbatasan antara wilayah Jakarta dan Jawa Barat, yang merupakan daerah basis supporter Persib. Sungguh sangat diacungi jempol kesetiaan sebagai The Jakmania sejati.
Bagi mereka para “outsider” pertandingan kandang, sudah seperti pertandingan tandang. Mengapa? Karena perjuangan mereka untuk datang tidak semudah mereka yang di Jakarta. Di perjalanan ada saja rintangan untuk menghalangi mereka datang ke stadion, seperti kisah seorang kawan saya dari Jak Kabupaten Bogor yang harus rela bergesekan dengan suporter Persikabo yang bergabung dengan suporter Persib di sekitar Bogor sebelum menyaksikan laga kandang Persija. Belum lagi supoter Persija yang juga kawan saya, dari daerah Cilegon yang dilempari batu bila melewati stasiun tertentu, dan masih banyak lagi para outsider yang loyalitasnya sebagai The Jak sudah sangat teruji.
Hal yang sama juga terlihat bila Persija melakoni laga kandang di luar Jakarta. Seperti ketika laga melawan PSPS kemarin. Empat puluh delapan jam rela ditempuh para Jakmania melewati jalur Barat Pulau Sumatera, yang di sisi kiri dan kanan jalan hanya terdapat perkebunan kelapa sawit yang sangat membosankan. Namun mereka rela mencicipi itu semua. Bahkan suporter tim tuan rumah sangat salut dengan The Jakmania. Sampai saat ini belum ada supoter tim tamu yang datang ke Kuansing. Bahkan bukan hanya suporter tapi warga sekitar stadion pun juga menyambut dengan antusias kedatangan suporter asal ibukota itu. Hal yang serupa yang juga ditemui bila Persija tandang ke daerah, selain di  Pekanbaru. Ini membuat saya lebih bangga menjadi suporter Persija.Forza Persija.. Macan Kemayoran!!
Kecintaan The Jakmania terhadap Persija, melahirkan “isme-isme” baru di jiwa tiap individu supporter Persija yang tergabung dalam suatu komunitas. Adanya sebuah komunitas, bukanlah pemecah atau penghalang bagi Jakmania. Bagi The Jak, komunitas-komunitas yang ada memberi warna tersendiri di dalam stadion. Seperti komunitas  Orange Street Boys dan Ultras Sector 5 yang mengadopsi budaya-budaya dari Italia, dengan ciri-ciri khas seperti giant flag, flare dan koreo-koreo di belakang gawangnya.
Kemudian komunitas Jakantor Community yang berisikan para pekerja  kantoran, Tiger bois dengan budaya casual-nya, Jakampus  dengan kaum inteleknya, dan JakOnline,  yang merupakan komunitas yang paling intens menebarkan nama Persija di dunia maya yang juga media officer Persija, dan masih banyak komunitas lainnya yang memberi warna-warna tersendiri di dalam maupun luar stadion.
 Namun seperti yang saya katakan di awal. Komunitas-komunitas ini hadir karena “isme” itu tadi. Apa pun kreasinya, yang lebih penting di sebuah komunitas Persija, yaitu menyanyi dan mendukung total 90 menit walau hujan dan panas silih berganti. Di sisi lain, supoter Persija pun seperti menjadi trend center bagi supporter lain, mulai dari lagu, gaya dan hal lainnya. Bukan sombong atau apa, namun bagi saya itu menjadi ‘nilai tambah’ tersendiri bagi Jakmania.
Jadi, jangan lah menanyakan apa saja yang sudah  diberikan Persija dan Jakarta untuk anda, melainkan apa yang sudah anda berikan terhadap Persija, Jakarta, dan the Jakmania. (Dyanitho kenconoputro)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Powered by Blogger