PUPUS sudah harapan pecinta Persija Jakarta melihat tim kesayangannya meraih gelar juara musim 2009/2010. Setelah di pentas Liga Indonesia hanya mampu bertengger di peringkat 7 klasemen akhir, langkah Macan Kemayoran di kompetisi Piala Indonesia pun berakhir. Di babak 8 besar, Bambang Pamungkas dkk tidak mampu memanfaatkan keunggulan di laga keduanya dan menyerah 0-2 dari Persik Kediri (agregat 4-5).
Praktis kegagalan Persija di musim ini memperpanjang kekecewaan pendukungnya, tidak terkecuali The Jakmania. Sejak terakhir kali mengangkat trofi Liga Indonesia tahun 2001, hingga kini klub kebanggaan ibu kota belum mampu membawa pulang kembali supremasi tertinggi kompetisi sepak bola di tanah air tersebut.
Lantas apa penyebab retetan kegagalan ini? Macan Kemayoran sepertinya kena kutuk oleh APBD DKI. Kenapa demikian? Simpel saja. Persija bisa meraih juara di Liga Indonesia VII (2001) tanpa adanya bantuan dari yang namanya APBD. Bahkan, dua musim sebelumnya, penampilan Macan Kemayoran sungguh luar biasa. Di Liga Indonesia V, Persija memiliki peluang besar meraih gelar juara pertamanya, sayang PSSI menghentikan kompetisi di tengah jalan karena kondisi perpolitikan di tanah air sedang memanas. Perjalanan Persija di Liga Indonesia V terhenti di babak semifinal.
Lanjut di Liga Indonesia VI. Performa Macan Kemayoran terlihat lebih garang. Ketika itu, lagi-lagi tanpa APBD, manajemen sanggup mendatangkan pelatih asing asal Bulgaria, Ivan Kolev, untuk meramu pemain sekaliber Nur’Alim, Luciano Leandro, dan sang junior Bambang Pamungkas. Kedatangkan Kolev membuat Persija difavoritkan untuk meraih posisi pertama di pentas sepak bola Indonesia.
Sayangnya, langkah Persija ’’dipatahkan” oleh pihak-pihak tertentu. Di babak 8 besar saat menghadapi Arema Malang di Stadion Gelora Bung Karno Senayan, Luciano Leandro yang menjadi roh dari permainan Persija terpancing emosinya oleh striker Arema Pacho Rubio. Adu fisik antara kedua pemain Amerika Latin ini pun tak terhindarkan. Buntutnya, wasit mengganjar Luciano kartu merah. Luciano pun tidak bisa membela Persija hingga final kompetisi. Muncul dugaan kalau Luciano sengaja dikartumerahkan semata-mata untuk menghancurkan kekuatan Macan Kemayoran. Terbukti, Persija kandas di semifinal.
Tiga musim kompetisi di atas menjadi bukti sahi betapa siapnya Persija dalam mengarungi derasnya samudra Liga Indonesia. Kesiapan Persija dalam menatap kompetisi bukan dilandaskan dengan kucuran bantuan bermiliar-miliar seperti yang terjadi saat ini. Kekuatan itu muncul karena keseriusan, kemauan, dan kerja keras dari orang-orang yang berada di jajaran manajemen dan pengurus.
Bagi gue, APBD itu madu bercampur racun. Madu karena membuat semua kalangan Persija menyambutnya bak tetesan air di bentangan gurun pasir. Kehadirannya membuat dahaga haus lenyap seketika. Sebaliknya, APBD juga membuat orang-orang Persija lupa diri. Lupa untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengurus, mengelolah, dan mengoperasikan tim. Semuanya seakan terbius untuk duduk manis menunggu siraman uang.
Karena APBD, nilai kontrak pemain melejit tinggi. Bahkan tak sedikit pemain Persija sejak Liga Indonesia IX hingga kini yang nilai kontraknya tidak sesuai dengan kualitasnya. Ibarat bergaji manajer, tapi kemampuan tukang sapu!
APBD juga melemahkan pihak manajemen dan pengurus dalam urusan menekan pengeluaran tim. Salah satu buktinya terjadi pada Liga Indonesia 2006. Salah satu stoper muda Persija (nama tidak disebutkan) yang kini jadi langganan Timnas Indonesia dikontrak dengan nilai Rp 200 juta lebih per tahun oleh manajemen. Padahal pemain tersebut mengaku bisa menerima kontrak walaupun nilainya hanya Rp 50 juta. Saat gue konfirmasi ke salah satu petinggi manajemen Persija, dia menjawab dengan simpel, ”Persija klub besar. Masa kita mau kontrak pemain dengan harga murah!.’’
Gila nggak! Kalau manajemen jeli atau pintar, setidaknya uang Rp 150 juta lebih bisa digunakan untuk keperluan lain, bukan untuk ngontrak satu pemain. Ini satu di antara bermacam-macam kasus yang membuat gue geli.
Kondisi seperti ini tidak terjadi ketika Persija tanpa APBD. Mantan Manajer Persija di Liga Indonesia VII, Aang Hamid Suganda, pernah bicara ke gue bahwa pada zaman dia Bambang Pamungkas saja tidak dikontrak, cuma digaji pada musim pertamanya di Persija.
Selain Aang, ada juga sosok Ahmadin Ahmad, dan IGK Manila. Tiga orang ini gue nilai “the right man on the right place” di manajemen tim.
Mereka benar-benar bekerja untuk bisa mendatangkan uang ke kas tim. Bagaimana pun caranya, mau itu “malak” iklan-iklan atau reklame yang terpampang di jalan, atau “ngolekin” dari pengusaha-pengusaha top di ibu kota , tapi uang itu ada dan mampu mengoperasikan keperluan tim.
Nah, peran di atas benar-benar dijalankan oleh tiga sosok ini. Ahmadin Ahmad yang merupakan pejabat birokrat DKI memiliki jaringan di lingkup Pemda DKI untuk mencari dana dari mitra-mitranya. Sementara Aang Hamid yang merupakan pengusaha kala itu bertugas menutupi kas tim di saat pencarian dana macet. Sedangkan IGK Manila yang menjabat Chief de Mission diplot sebagai duta besar klub untuk segala urusan dengan PSSI. Lewat komando Sutiyoso selaku Pembina Persija, ketiga sosok di atas berjalan di track yang beda tapi arahnya sama: membawa Macan Kemayoran juara!
Hal krusial lain yang menurut gue menjadi faktor kegagalan tim adalah menurunnya ’’sentuhan’’ dari The Jakmania. Peran dari pemain ke-12 ini sudah tidak seperti dulu lagi. The Jak bukan hanya pemain ke-12, tapi terkadang menjadi manajer ke-2 di dalam tim. Waktu dulu, The Jak tidak sekadar memberikan dukungan saat tim sedang berlaga. Lebih dari itu, The Jak pun sering mengkritik komposisi pemain yang masuk dalam incaran manajemen. Ini semua dilakukan bukan semata-mata mengintervensi manajemen, tapi karena rasa cinta The Jak terhadap tim kesayangannya.
Contoh waktu menjelang berakhirnya Liga Indonesia VIII tahun 2002, The Jak meminta manajemen untuk tidak memperpanjang kontrak Nur’Alim. Padahal, sang pemain merupakan kapten tim bahkan menjadi idola The Jak (terbukti ada yel-yel khusus buat Nur’Alim). Tapi alasan The Jak ketika itu adalah Nur’Alim sudah mulai materialistis, dan berpikir hanya dengan uang dia bisa bermain maksimal. Manajemen pun menurutinya dan tidak memperpanjang Jabrik, sapaan Nur’Alim, di Liga Indonesia IX.
Di tahun yang sama, The Jak pun memprotes manajemen yang tidak memperpanjang Budi Sudarsono. Protes ini dilakukan lewat yel-yel dan tempelan poster-poster di stadion Menteng dan saat Persija berlaga di Stadion Lebak Bulus. Aang Hamid yang ketika itu menjadi manajer tim menjadi bulan-bulanan The Jak. Tidak hanya umpatan dari mulut, sang manajer pun sempat merasakan perlakuan fisik oleh suporter Persija ketika tim sedang berlaga di Tangerang. Buntutnya, Aang pun mundur dari jabatannya saat liga berakhir.
Kasus lainnya juga terjadi pada sektor tim pelatih. Di awal Liga Indonesia VII, The Jak menuntut manajemen agar memecat Andi Lala dari kursi pelatih kepala. Manajemen pun mendepak Andi Lala.
Yang jelas, The Jak selaku suporter Persija ketika itu benar-benar menjalankan perannya. Mereka selalu kritis di saat tim kalah atau mengalami kegagalan. Dan The Jak juga selalu ada saat tim membutuhkan dukungannya. Ini suporter dan ini yang namanya pemain ke-12.
Sabtu, 31 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar